Kamis, 03 Juni 2010

Teori organisasi

Dalam telaah teori-teori organisasi, berdasarkan perbandingan antara usia organisasi dengan ukuran dan kompleksitasnya, sejumlah pakar mencatat adanya kesamaan pola-pola tertentu dalam kehidupan organisasi. Melalui kajian tersebut para pakar merumuskan teori tentang fase/tahapan pertumbuhan organisasi. Salah satu pakar yang terkenal dalam kajian pertumbuhan organisasi adalah Larry Greiner. Lewat penelitiannya Greiner menyimpulkan bahwa:

a. Setiap organisasi bertumbuh melalui suatu tahapan atau fase-fase pertumbuhan tertentu;

b. Setiap fase pertumbuhan menciptakan krisisnya sendiri, karena itu setiap fase “cenderung” diakhiri dengan suatu krisis;

c. Jika krisis dapat diatasi dengan tepat, maka berakhirnya krisis merupakan awal dimulainya fase/tahapan baru dalam pertumbuhan organisasi.

Menurut Greiner, umumnya organisasi bertumbuh melalui tahapan/fase-fase dan krisisnya sebagai berikut: (lihat gambar 1)

1. Fase kreativitas, berakhir dengan krisis kepemimpinan;

2. Fase pengarahan, berakhir dengan krisis otonomi;

3. Fase pendelegasian, berakhir dengan krisis pengendalian;

4. Fase koordinasi, berakhir dengan red tape crisis;

5.

1. Fase 1: Kreativitas,

ciri utama kegiatan organisasi pada masa awa-lawal kegiatannya adalah penekanan pada pembuatan produk dan penciptaan pasar. Pada fase ini biasanya terjadi krisis kepemimpinan(crisis of leadership), jika fase ini lolos maka dapat diteruskan ke fase dua dan seterusnya.

Tahap pertamana revolusi sebuah organisasi dicirikan oleh kreativitas. Para pendirinya biasanya menuangkan energy untuk mengembangkan produk dan pasar. Desain organisasi mereka cenderung kelihatan sebagai suatu truktur sederhana. Pengambilan keputusan di control oleh Manajer atau Manajer-pemilik atau oleh manajemen puncak. Komunikasi antara tingkatan yang satu dengan yang lain didalam organisasi berlangsung sering dan non informal.

Saat organisasi tumbuh, maka akan sukar mengelola dengan hanya menyandarkan diri pada komunikasi informal. Manajer senior menjadi terlalu banyak beban kerjanya. Muncullah krisis kepemimpinan karena mereka yang menjalankan perusahaan tidak lagi mempunyai keterampilan atau minat untuk mengatur organisasi tersebut dengan berhasil. Manajemen Profesional yang kuat dibutuhkan untuk dapat memperkenalkan Manajemen dan tehnik oranisasi yang lebih rumit.

2. Fase 2: Pengarahan,

keberhasilan melalui krisis pada fase pertama biasanya diikuti dengan pertumbuhan terarah dibawah pimpinan yang cakap dan bisa mengarahkan. Jadi, revolusi kedua muncul dari krisis otonomi (crisis of autonomy) yang menuntut revolusi pendelegasian karena pucuk pimpinan enggan mendelegasikan tanggung jawab para manajer lapis bawah.

Jika krisis kepemimpinan telah dipecahkan, maka akan diperoleh kepemimpinan yang kuat. Pemimpin yang baru tersebut akan memformalkan komunikasi dan menempatkan akuntansi, anggaran, persediaan, dan sistim lainnya pada tempat yang sesuai. Desain organisasi tersebut akan menjadi makin birokratis. Spesialisasi diperkenalkan, seperti juga struktur yang fungsional agar dapat memisahkan aktifitas produksi dan pemasaran. Tetapi pimpinan baru tersebut menciptakan suatu krisis yang dibuatnya sendiri. Manajer-manajer tingkat bawah akan frustasi dan mencari pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan yang mempunyai dampak terhadap mereka. Namun, Manajemen yang baru agak segan untuk melepaskan kekuasaan. Hasilnya sebuah krisis ekonomi. Pemecahannya cenderung terletak pada pendesentralisasian pengambilan keputusan.

3. Fase 3: Pendelegasian,

dengan penerapan struktur organisasi dengan pendelegasian maka manajer lapis bawah lebih termotivasi sehingga organisasi bisa berkembang. Pada fase ini muncul krisis pengawasan (crisis of control).

Jika pengambilan keputusan didesentralisasikan, maka krisis tahap kedua telah dipecahkan. Manajer tingkat bawah sekarang mempunyai otonomi relatif untuk menjalankan unit-unit mereka. Manajemen puncak menggunakan energinya untuk perencanaan strategis jangka panjang. Sistem control internal dikembangkan untuk memantau keputusan manajer tingkat bawah.

Pendelegasian akhirnya menciptakan krisis control. Manajer tingkat bawah menikmati otonomi mereka tetapi manajer tingkat tinggi takut bahwa organisasi tersebut akan jalan keberbagai arah pada saat bersamaan. Jawaban dari manajemen puncak adalah mencoba kembali kepengambilan keputusan disentralisasi. Sentralisasi dilihat sebagai cara untuk memberi kesatuan dalam kepemimpinan namun hal ini jarang sekali realistis. Cara-cara koordinasi lain harus ditemukan dan dilaksanakan.

4. Fase 4: Koordinasi,

dilakukan pembagian tanggung jawab yaitu manajer lapis atas ertanggung jawab pada penanganan dan pelaksanaan system baru ini. Pada fase ini terjadi A red tape crisis.

Krisis control tersebut dipecahkan dengan melaksanakan peninjauan kembali, penilaian, dan mengkontrol aktifitas manajer lini dari unit-unit staf dan kelompok-kelompok produk untuk mempermudah koordinasi.

Alat koordinasi tersebut menciptakan masalah tersendiri. Konflik garis staf, misalnya mulai menggunakan banyak waktu dan usaha. Pegawai tingkat rendah makin mengeluh bahwa mereka ditimbuni peraturan dan control. Sebuah krisis birokasi terjadi dan, jika tidak dapat dipecahkan, dapat menimbulkan penyimpangan tujuan.

5. Fase 5: Kolaborasi.

Kolaborasi interpersonal diharapkan bisa mengatasi krisis red tape. Fase ini menekankan adanya spontanitas dalam tindakan manajemen melalui tim dan konfrontasi perbedaan interpersonal. Revolusi kelima ini dapat diatasi melalui penerapan struktur dan program baru yang memberikan keleluasaan pada karyawan untuk beristirahat, merefleksikan diri, dan menyegarkan diri mereka kembali. Misalnya pemberian cuti panjang.

Pemecahan terhadap krisis birokrasi adalah kerjasama antara pribadi yang kuat diantara para anggota organisasi. Budaya yang kuat bertindak sebagai suatu substitusi bagi control yang formal. Satuan-satuan tugas dan alat alat kelelompok lainnya diciptakan untuk melaksanakan tugas dan memecahkan masalah. Struktur organisasi tersebut bergerak kearah bentuk yang organik.

Suatu krisis ditandai oleh sejumlah gejala, diantaranya adalah: terjadinya konflik yang berlarut-larut dan terus menajam, retaknya kohesivitas kelompok, menurunnya kinerja organisasi, serta tidak tercapainya target-target organisasi. Kelambanan dan kegagalan menangani gejala krisis akan mengarahkan organisasi pada puncak krisisnya. Jika krisis tidak mampu direspons dengan tepat maka niscaya organisasi akan mengalami kemunduran, atau kalaupun eksist namun action organisasi tidak mampu memberi makna dan pengaruh signifikan.

Greiner juga mencatat adanya kasus-kasus khusus dimanaorganisasi tidak betumbuh melalui tahapan dan krisis-krisis tersebut secara berurutan, karena bisa saja suatu fase terlompati atau tidak diakhiri dengan krisis. Selain itu, Greiner tidak memberikan kelanjutan teorinya tentang krisis apa atau apa yang terjadi sesudah fase kolaborasi.

Melalui fase-fase di atas organisasi dari jenis apapun bertumbuh. Pada setiap fase dikembangkan strategi, struktur, sistem, proses dan perilaku (kultur) yang berbeda, sebagai respons terhada ukuran (size) dan kompleksitas organisasi serta tantangan lingkungannya. Namun perlu dicatat bahwa suatu struktur, sistem, strategi dan kultur yang berhasil pada suatu fase tertentu belum tentu tepat untuk fase lainnya. Krisis dalam organisasi terjadi tatkala stabilitas organisasi terguncang, sejumlah fungsi organisasi tidak berjalan optimal (disfungsi). Penyebabnya bisa datang dari dalam maupun dari luar organisasi, atau bersama-sama secara simultan. Akibat krisis adalah menurun/merosotnya kinerja (performance) dan organisasi tak mampu mencapai target-targetnya.

Agar organisasi tidak jatuh dalam krisis maka setiap saat organisasi harus merespons gejala krisis dengan tepat melalui pemetaan situasi dan faktor-faktor problematik yang signifikan mempengaruhi kinerja dan pencapaian target-target secara berkesinambungan, untuk kemudian melakukan penataan ulang yang disesuaikan dengan kompleksitas pertumbuhan organisasi dan perubahan lingkungannya. Selain teori pertumbuhan organisasi dari Greiner, teori lain yang juga banyak dianut adalah teori tentang daur hidup organisasi. Teori ini sebenarnya merupakan hasil adaptasi dari teori daur hidup produk dalam bidang pemasaran. Tahapan pertumbuhan organisasi menurut teori ini digambarkan pada gambar 2.

Gambar 2. Daur Hidup Organisasi (Organization Life Cycle)

Titik konjungtur/titik tertinggi

I II III IV V

I. Tahap kewirausahaan/pembentukan

II. Tahap kebersamaan

III. Tahap formalisasi

IV. Tahap perluasan struktur

I. Tahap kewirausahaan/pembentukan.

Tahapan kewirastawan (entrepreneurial): Tahap sama dengan tahap pembentukan pada daur hidup produk . organisasi berada dalam masa pertumbuhan. Tujuan cenderung berarti ganda (ambiguous), kreatifitas tinggi. Kemajuan pada tahap berikut menuntut agar di peroleh dan di pertahankan pasokan sumber-sumber secara teratur. Pada tahapini sinonim dengan pembentukan.

ciri-cirinya :

a. Tahap pembentukan

b. Memiliki tujuan tidak jelas

c. Tujuan organisasi cenderung berarti ganda

d. Kreatifitas tinggi

e. Organisasi berada pada tahap pertumbuhan

Contoh :

- Informal : organisasi perkumpulan pemain bulutangkis Sultra(tidak memiliki anggaran

- Formal : yayasan (memiliki anggaran) → pemerintah

II. Tahap kebersamaan.

Tahap kebersamaan (collectivity): tahap ini melanjutkan inovasi dari tahap sebelumnya, namun misi dari organisasi menjadi jelas. Komunikasi dan struktur di dalam organisasi pada dasarnya tetap informal. Para anggota kerja keras dan memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadp organisasi. Pada tahap ini sebanding dengan pertumbuhan.

Ciri-cirinya :

a. Tujuan, visi, misi organisasi sudah jelas

b. Inovasi yang tinggi

c. Komitmen karyawan yang tinggi pada suatu organisasi

d. Struktur organisasi menjadi jelas

e. Komunikasi dalam struktur organisasi bersifat formal

f. Para anggota bekerja sama, bekerja keras & memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap organisasi

III. Tahap formalisasi & control.

struktur dari organisasi menjadi mantap pada tahap ini. peraturan dan prosedur formal dipaksakan. Inovasi kurang ditekankan, sedangkan efesiensi dan stabilitas ditekankan. Pada tahap ini, organisasi eksis di atas kehadiran semua individu. Peraturan-peraturan telah diperjelas agar organisasi tidak terancam.

Ciri-cirinya :

a. Struktur organisasi yang sudah mantap (posisi semakin baik)

b. Peraturan/prosedur di lakukan secara formal

c. Efisiensi & stabilisasi di tekan

d. Inovasi di kurangi

e. Pengambilan keputusan bersifat konservatif

f. Posisi senior pada organisasi memegang kekuasaan

g. Peraturan-peraturan lebih di jelas

h. Semua kepergiatan berdasarkan peraturan & formalisasi

IV. Tahap perluasan struktur(elaboration of structure)

dalam tahap ini, organisasi mendiversifikasi produk dan jasanya. Manajemen mencari produk baru dan peluang untuk tumbuh. Sturuktur Organisasi tersebut menjadi lebih kompleks dan makin diperluas. Pengambilan keputusan makin didesentralisasikan.

. Ciri-cirinya :

a. Struktur organisasi menjadi kompleks/di perluas

b. Pengambilan keputusan di desentralisasikan

c. Difersifikasi (perubahan) harus di laksanakan

d. Perluasan struktur/eleborasi

V. Tahap kemunduran (decline)

sebagai akibat dari persaingan pasar yang mengecil atau kekuatan yang sama, maka organisasi berada dalam tahap mundur ini menemukan bahwa permintaan akan produk jasa makin kecil. Manajemen mecari jalan untuk mempertahankan pasar dan mencari peluang baru. Konflik meningkat, orang-orang baru mengambil kursi kepimpinan dalam usaha menghambat kemunduran. Pengambilan keputusan disentarlisasi pada kepimpinan yang baru.

. Ciri-cirinya :

a. Karena adanya persaingan

b. turn offer (produktifitas) pegawai menurun

c. konflik tinggi/meningkat

d. pengambilan keputusan di sentralisasi (di pusatkan)

Kaitan pertumbuhan dan kemunduran organisasi.

Dua tahap yang paling penting dalam daur hidup organisasi. Menciptakan perbedaan masalah dan peluang yang nyata. Pada saat terjadi kemunduran, para manajer kemungkinan akan menghadapi tingkat konflik, permainan politik yang bertambah, penolakan yang meningkat terhadap perubahan, kehilangan kreadibilatas, dan motivasi pegawai semakin runtuh. Saran-saran untuk mengelola kemunduran termasuk menjernihkan strategi organisasi, meningkatkan komunikasi, mensentralisasikan pengambilan keputusan, mendesain kembali pekerjaan, dan mengembangkan pendekatan yang inovatif terhadap pengurangan-pengurangan.

Fase kolaborasi, dalam teori Greiner tidak jelas krisis yang mengakhiri fase kolaborasi.





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda